ORANG MANGGARAI: PENGARUH LUAR DAN STRUKTUR SOSIALNYA - bagian kedua
Pengaruh Luar
Secara kultural orang Manggarai sebetulnya sangat beragam karena terdiri dari sub-sub suku yang beragam. Seperti telah kami jelaskan pada bagian pertama, keberagaman ini diakibatkan oleh karena interaksi yang intensif antara orang Manggarai “asli” dengan penduduk luar. Sehingga lebih tepat bila dikatakan orang Manggarai adalah sebuah melting pot, sebuah masyarakat homogen yang terbentuk dari heterogenitas di masa lalu yang berubah secara perlahan menjadi satu kesatuan yang harmonis.
Sejatinya, orang Manggarai “asli” tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem itu diperkenalkan oleh suku
pendatang yang menguasai Manggarai, mulai dari Kesultanan Bima, Kesultanan Goa hingga penjajah Belanda.
Sejatinya, orang Manggarai “asli” tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem itu diperkenalkan oleh suku
Keanekaragaman tenun ikat Manggarai |
Beberapa sumber mengatakan bahwa sejak abad ke-11 daerah Manggarai telah menjadi rebutan antara kesultanan Bima dari Sumbawa dan Kesultanan Gowa dari Sulawesi. Meskipun secara nyata kekuasaan asing ini hanya terjadi di pesisir namun pengaruhnya merasuk hingga ke seluruh daratan Manggarai. Dewasa ini, pengaruh itu meninggalkan jejak-jejaknya dalam bentuk struktur kekuasaan, gelar-gelar kebangsawanan dan bahasa ( kata-kata ).
Kesultanan Bima menancapkan pengaruhnya atas orang Manggarai di wilayah selatan hingga barat daya, utamanya masyarakat Todo dan Kempo. Sementara kesultanan Goa menancapkan pengaruhnya di bagian barat hingga utara Manggarai. Kuatnya pengaruh itu tetap terasa hingga saat ini, mulai dari Labuan Bajo hingga Cibal di utara pedalaman Manggarai. Sementara itu, diReok dan Pota, dua kota kecil di pantai utara ketika Kesultanan Bima masih berjaya, ditempatkan perwakilan kesultanan Bima. Saat ini, pengaruh Bima bahkan menjalar hingga Riung. Itulah sebabnya Riung, walaupun secara administratif masuk dalam wilayah pemerintahan daerah Ngada, namun secara kultural lebih dekat dengan orang Manggarai timur laut.
Baik kesultanan Bima maupun Goa memiliki vested interest atas tanah Manggarai. Karena itu, strategi mereka sama. Untuk mempermudah pengontrolan, wilayah Manggarai dibagi dalam kantong-kantong kekuasaan kecil menurut sub sukunya. Kantong-kantong kekuasaan itu disebut dalu. Pada zaman kekuasaan Bima dan Goa, daerah Manggarai dikelompokkan dalam 39 dalu. Tiap dalu terdiri dari sejumlah daerah khusus yang disebut glarang, dan setiap glarang terdiri dari sejumlah desa.
Serupa dengan dalu, setiap glarangbiasanya juga dikuasai oleh suatu klen dominan yang menganggap dirinya bangsawan. Menurut sistem pemerintahan kerajaan, beberapa glarang berada di bawah kekuasaan dari suatu dalu. Sistem perkawinannya sama seperti sistem perkawinan dalu.
Contoh Glarang dari Cibal di pada zaman Belanda |
Kesultanan Bima dan Goa memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap Manggarai. Pengaruh itu sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak abad ke-17, kesultanan Goa tidak hanya menguasai Manggarai bagian selatan hingga Barat Daya tetapi seluruh Manggarai. Dengan sistem kedaluan yang dibangun, orang Manggarai diwajibkan menyetorkan upeti. Goa juga menancapkan pengaruhnya secara kultural dalam bentuk baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Sehari-hari, Kraeng juga dipakai sebagai gelar para bangsawan. Istilah ini tentunya mengingatkan kita pada gelar kebangsawanan pada suku Makasar, yaitu Kraeng atau Daeng.
Pada tahun 1722 terjadi perundingan antara Sultan Goa dan Bima . Sebagai hasil perundingan itu, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Tidak terlalu lama kemudian kesultanan Bima menguasai seluruh daratan Manggarai saat Cibal dikalahkan dalam peperangannya dengan Todo.
Kesultanan Bima bahkan memperluas pengaruhnya hingga ke Rongga dan memasuki wilayah suku Ngadha sebelum munculnya perjanjian yang dilakukan di Watu Jaji. Namun letusan gunung Tambora yang meluluhlantakkan pulau Sumbawa tahun 1815 berdampak pula pada kekuasaan Bima di Manggarai. Manggarai menjadi “daerah tak bertuan.” Keadaan ini dimanfatkan beberapa kedaluan besar untuk mengambil-alih kekuasaan itu. Terjadilah perebutan kekuasaan antaran kedaluan Todo dengan kedaluan Cibal. Perebutan yang terjadi lewat peperangan itu akhirnya dimenangkan oleh kedaluan Todo.
Kedaluan Todo tidak menikmati kekuasaan itu dalam waktu lama. Belanda yang masuk dari timur, yaitu dari Ende di Flores tengah akhirnya menguasai Manggarai dalam tiga kali ekspansi, yaitu tahun 1850, 1890 dan 1905. Belanda pun meneruskan struktur administrasi kekuasaan peninggalan penguasa tardahulu.
Walaupun pengaruh kesultanan Bima dan Goa begitu kuat, namun secara tradisional stratifikasi masyarakat Manggarai terbagi atas 3 golongan, suatu hal yang juga ditemukan pada suku-suku lain di Flores, terutama pada masyarakat Ngada. Struktur ini pula dipakai oleh penjajah dengan sedikit modifikasi untuk menguasai Manggarai dalam waktu yang lama seperti sudah kami paparkan di atas. Lapisan pertama disebut orang kraeng terdiri dari bangsawan dan orang berkuasa, lapisan kedua disebut ata lehe terdiri dari petani dan pedagang dan lapisan ketiga disebut orang budak terdiri dari para tawanan perang dan orang yang tidak mampu membayar hutang.
Struktur Sosial Orang Manggarai
Orang Manggarai adalah masyarakat yang sangat komunal. Mereka sangat menekankan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo yang membentuk keluarga luas, menurut tingkat keturunan terbagi atas dua, yaitu klan sedang yang disebut Panga dan klen besar yang disebut Wau.
Orang Manggarai adalah masyarakat yang sangat komunal. Mereka sangat menekankan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo yang membentuk keluarga luas, menurut tingkat keturunan terbagi atas dua, yaitu klan sedang yang disebut Panga dan klen besar yang disebut Wau.
Orang Manggarai yang menganut garis keturunan patrilineal juga mengenal beberapa sistem kekrabatan. Untuk kekerabatan yang lebih luas - Wau, orang Manggarai mengenal beberapa bentuk kekerabatan, yaitu; turunan dari kakak disebut Wae Tua, turunan dari adik disebut Wae Koe, turunan keluarga ibu disebut Ana Rona, turunan dari saudarai perempuan disebut Ana Wina.
Sedangkan untuk kekerabatan yang lebih sempit, yaitu pada garis keturunan tingkat dua, orang Manggarai mengenal beberapa konsep untuk menjelaskan hubungan kekerabatan itu, yaitu; Saudara laki-laki ibu disebut Amang, saudari bapak disebut Inang, adik laki-laki bapak disebut Ema Koe, kakak laki-laki dari bapak disebut Ema Tua, adik ibu disebut Ende Koe, kakak ibu disebut Ende Tua.
Struktur compang yang sudah tidak utuh karena kebikan yang salah |
Compang atau perkampungan orang Manggarai biasanya dibangun di atas bukit. Hal ini memang disengaja untuk mempertahankan diri dari serangan suku lain.
Compang atau kampung tradisional Manggarai berbentuk bundar dengan rumah saling berhadapan. Bentuk bulat compang ini mengandung makna keutuhan atau kebulatan; bahwa warga kampung itu merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang utuh. Secara umum, compang terdiri atas tiga bagian, yaitu; pa’ang (bagian depan – merupakan gerbang kampung), ngandu (pusat di mana ditanami pohon dadap atau pohon beringin dan altar pemujaan nenek moyang yang dibuat dari tumpukan batu yang di atasnya terdapat batu datar sebagai tempat sesaji untuk arwah nenek moyang), dan ngaung atau musi (bagian belakang kampung).
Compang atau kampung tradisional Manggarai berbentuk bundar dengan rumah saling berhadapan. Bentuk bulat compang ini mengandung makna keutuhan atau kebulatan; bahwa warga kampung itu merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang utuh. Secara umum, compang terdiri atas tiga bagian, yaitu; pa’ang (bagian depan – merupakan gerbang kampung), ngandu (pusat di mana ditanami pohon dadap atau pohon beringin dan altar pemujaan nenek moyang yang dibuat dari tumpukan batu yang di atasnya terdapat batu datar sebagai tempat sesaji untuk arwah nenek moyang), dan ngaung atau musi (bagian belakang kampung).
Mbaru gendang - sebuah bangunan beratap kerucut yang hampir menyentuh tanah |
Secara umum, Mbaru Gendang adalah sebuah rumah dengan atap seperti kerucut yang menerus hingga mendekati tanah. Materialnya terdiri dari kayu sebagai kerangka rumah yang disatukan yang dengan tali enau. Bahan atapnya diambil dari alang-alang atau daum rumbia.
Compang Wae Rebo - sebuah copang khas Manggarai yang masih utuh |
Mungkin sudah waktunya compang-compang yang ada itu merevitalisasikan dirinya karena hal itu bukan sekedar romantisasi masa lalu tetapi terkait dengan eksistensi orang Manggarai sendiri. Identitas orang Manggarai bukan hanya terkait dengan pengetahuan tentang siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya tetapi juga dengan segala artibut yang melengkapinya. Hanya dengan cara seperti itu, Manggarai yang kaya akan potensi pariwisata dapat menjadi pemain utama di tanahnya sendiri.
Sumber: Dari berbagai sumber.
Sumber: Dari berbagai sumber.